Selasa, 11 September 2012

WAJAH RETAK MEDIA: anomali anjing penjaga (watchdog anomaly)

Wajah Retak Media



Judul Buku : Wajah Retak Media
Penulis : Kumpulan Laporan Penulisan 14 Jurnalis
Penerbit : AJI Indonesia dan Yayasan Tifa
Jumlah Halaman : 142 halaman (Terbit Mei 2009)

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik)

Independen merupakan roh redaksi. Jika wartawan menulis berita bias dan memihak, yang paling dirugikan adalah pembaca. Maka tidak heran, dalam kode etik jurnalistik yang disepakati puluhan organisasi wartawan, perkara menjaga independensi ini diletakan pada pasal pertama.

Namun, apakah dalam prakteknya prinsip keindependenan ini sudah diterapkan secara benar. Jawabannya, mungkin sudah, namun belum optimal. Redaksi masih rentan terkena intervensi. Jika dintervensi lewat ‘telepon malam’ pemerintah, saat ini independensi redaksi justru diancam pemilik perusahaan media, dan pemasang iklan.
Penyimpangan-penyimpangan media ini dikupas tuntas dalam buku bunga rampai laporan penulisan pemenang beasiswa “Independensi dan Profesionalisme Media 2008″ Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Yayasan Tifa. Buku berisi 14 tulisan ini ditulis 14 jurnalis dari berbagai kota.

Seperti halnya kumpulan tulisan, buku ini membahas beragam topik. Namun benang merahnya, tulisan di buku berjudul Cermin Retak Media ini, tetap berbingkai pelanggaran kode etik jurnalistik. Pembahasannya tidak melulu soal independensi dan intervensi, namun juga pernak-pernik dunia kewartawaan.
Mulai dari wartawan yang terjun ke dunia politik dengan menjadi Caleg tanpa melepaskan status kewartawanannya, pelanggaran batas api antara iklan dan berita, keterlibatan wartawan sebagai pencari iklan, fenomena stringer di dunia pertelevisian, fenomena amplop, hingga ‘permainan’ redaksi untuk menangguk iklan dari berita-berita keras. Kesemua itu, adalah anomali anjing penjaga (watchdog anomaly).

Tulisan Asep Saefullah berjudul Membungkam Kritik Demi Iklan (Hal-137), misalnya. Reportase jurnalis Kota Cirebon ini memperlihatkan bagaiman berkuasanya iklan dalam kasus dugaan pelanggaran kampanye Caleg Partai Golkar Enggartiasto Lukito di harian Radar Cirebon. Saat media nasional ramai memberitakan dugaan pelanggaran itu, Radar Cirebon justru memilih tidak melakukannya. Sebabnya, Enggar adalah pengiklan utama di media itu.

Fenomena yang sama juga ditemukan Ahmad Nurhasim di harian Pikiran Rakyat dalam kasus pemilihan Gubernur Jawa Barat (Hal-111). Sebagai koran terbesar di Jabar, Pikiran Rakyat (PR) secara diam-diam ‘mengabdikan diri’ ke salah satu pasangan, yakni Danny Setiawan-Iwan Sulandjana (Da’i). Keberpihakan ini dilihat Ahmad dari pemberitaan PR menggiring opini publik untuk memilih calon gubernur incumbent ini. Semua berita positif dimuat di harian itu.
‘Keberpihakan’ yang dibantah redaksi PR ini bukan tanpa alasan. Dai’ menjadi pasangan pengiklan utam di harian itu. Bahkan di hari terakhir kampanye, Dai’ memborong empat halaman PR full color seharga ratusan juta rupiah.
Hal menarik lainnya seperti tulisan Robby Efendi yang menelisik Harian Sumut Pos berjudul Habis Gebrak, Terbitlah Iklan (ha-7). Tulisan enam halaman itu melaporkan, perubahan kebijakan redaksi Sumut Pos usai pertemuan jajaran petinggi media di bawah Jawa Pos Group itu dengan Direksi Bank Sumut.

Sebelum pertemuan berbungkus ‘silaturahmi’ digelar, Sumut Pos rajin memberitakan berita keras terkait jeleknya kinerja bank daerah itu. Namun, sikap itu kemudian berubah 180 derajat. Sebabnya, adalah adanya komitmen Bank Sumut untuk beriklan di media tersebut.
Penyimpangan lainnya adalah terekam dalam reportase Muhlis Suhaeri dalam tulisan Saat Jurnalis Berpolitik (hal-39). Jurnalis tamatan ISIP Jakarta ini menuliskan aktivitas puluhan wartawan di Kalimantan Barat yang putar haluan ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD.
Perpindahan profesi itu sebenaranya tidak dilarang, yang menjadi masalah adalah mereka tidak melepaskan status kewartawanannya.
Kemudian ada juga fenomena stringer atau tuyul di dunia pertelevisian (hal-19). Istilah tuyul merujuk pada kameramen yang bekerja kepada kontributor TV di daerah. Karya Anton Muhajir mengambil sampel di Denpasar Timur. Stringer tidak ubahnya seperti ‘budak’ bagi reporter atau kontributornya.

Mereka bersitungkin mencari gambar dan berita di lapangan, namun yang mendapat nama adalah kontributor. Kasus ini biasanya terjadi kontributor TV-TV nasional di daerah.

Lalu ada juga keengganan RCTI dan okezone.com memberitakan kasus Sisminbakum. Sebabnya, adanya keterlibatan big bos MNC (kapal induk RCTI dan okezone) Harry Tanoesoedibjyo dalam kasus itu. Kemudian juga ada tulisan Bodrek Made in Deli Serdang yang ditulis Irvan. Tulisan ini menguak prilaku ‘ngamplop’ wartawan di Deli Serdang. Parahnya, mereka memutar tafsir berita layak diliput jika ada uang dan berbau proyek.
Meski sampel diambil dari beragam kota, anomali dunia jurnalistik Indonesia yang terekam dalam 14 karya ini, terjadi di semua kota di Indonesia. Di tengah persaingan, Pers memang dihadapkan pada dilema. Tidak pandai-pandai menyikapi keadaan, bisa-bisa mati sebelum berkembang. Namun masalahnya, pilihan yang diambil sering kali bertentangan dengan kode etik yang harusnya dijunjung tinggi.
Independensi, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk, menjadi kabur. Karena wartawan disibukkan dengan tugas-tugas non jurnalitik. Bisa jadi banyak wartawan yang tidak pernah membaca KEJ dan UU Pers No 40/1999.
Makanya tidak heran, banyak kalangan mengeluhkan rendahnya kualitas wartawan dan hasil pemberitaan yang mereka hasilkan. Wartawan tidak lagi diposisikan sebagai kerja intelektual, namun benar-benar kuli yang kadangkala juga diperbantukan sebagai pencari iklan. Yang terjadi, produk jurnalistik makin bias dan pembaca dibohongi.
Sesuai judulnya, Wajah Retak Media, buku ini memaparkan kondisi real media tanah air. Bagi para penulis yang juga jurnalis, mengungkap masalah ini ke publik, tidak beda dengan Manapuak Aia di Ateh Dulang. Karena ini adalah borok sendiri. Namun setidaknya, lewat buku ini ada upaya memperbaiki diri dari dalam. Upaya menjadikan pers tanah air lebih berkualitas dan jauh dari prilaku-prilaku negatif

0 komentar:

 

Twitter Update