Rabu, 13 Juni 2012

Pro dan Kontra Homeschooling di Dunia Pendidikan


Siapa yang tidak mengenal istilah homeschooling di era pendidikan saat ini? Banyak pakar yang turut angkat bicara dalam hal ini, salah satunya Daryono. Daryono menggungkapkan bahwa homeschooling atau yang biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi mereka. Sistem pendidikan ini meraih popularitas atau mulai menjadi tren di berbagai dunia tahun-tahun belakangan ini.
Keberhasilan HS mencapai popularitas tak sepi dari pro dan kontra, meskipun HS sebenarnya bukan barang baru di dunia pendidikan. Seiring dengan angin segar yang berhembus dari media massa yang menyatakan bahwa HS merupakan alternatif pendidikan yang sangat tepat bahkan mampu mengalahkan sekolah, maka masyarakat perlu tahu dengan sendirinya apakah HS seindah yang mereka bayangkan? Adakah dampak HS terhadap perkembangan anak? Tentunya yang paling utama adalah sudah sesuaikah dengan pendidikan Indonesia?.
Amerika Serikat adalah negara lebih dahulu mengembangkan HS. Menurut laporan Pusat Nasional untuk Statistik Pendidikan tahun 2006, diperkirakan 1,1 juta pelajar AS menajalani HS pada musim semi 2003. Angka tersebut naik 29 % sejak tahun 1999. Di Indonesia, peningkatan homeschooler (sebutan untuk peminat HS) semakin meningkat, apalagi setelah banyak figur masyarakat seperti Kak Seto, Dewi Hughes yang terus mengkampanyekan HS serta sederet nama kalagan selebritis seperti Nia Ramadani, Eva Selia Latjuba, Ihsan dan Rini ‘Idol’, serta Dominique. Sebenarnya, sampai saat ini telah banyak tokoh-tokoh dunia yang lahir dari HS, seperti Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Agatha Cristie, Thomas A Edison, Charlie Chaplin, K.H. Agus Salim, Ki Ajar Dewantara, Buya Hamka dan seorang anak muda Amerika Christopher Paolini (22 tahun) penulis novel Laris Eragon (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) juga seorang homeschooler. Akankah sederet nama tersebut mampu membuat orang tua tertarik dan beralih dari jalur pendidikan formal ke jalur HS?
Pakar pendidikan, Prof. Dr. Arief Rahman turut angkat bicara mengenai jalur pendidikan alternatif. Beliau mengatakan bahawa proses belajar seperti HS ini adalah metode untuk mendekatkan anak dengan orang tua. Kontrefersialnya antara lain adalah membuat anak yang belajar lewat HS ini menjadi anti sosial, kurang belajar bersosialisasi dan tidak bisa berkerjasama, sungguh sangat bertolak belakang dengan pendidikan formal di sekolah yang menuntut anak untuk dapat bergaul dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Jepang. Para pakar di Jepang mengatakan bahwa anak-anak tetap saja sulit dididik di luar sistem sekolah dengan minimnya dukungan dari pemerintah. Kiyoko Aizawa, seorang pendiri Otherwise Japan, yang merupakan pendukung pendidikan rumah tetap memberikan catatan bahwa HS kerap kali menerima diskriminasi dari masayrakat sekitar.
Ada kontra maka ada juga yang pro. Heide De Wet, salah satu dari tiga mentor yang menyertai anak-anak peminat HS dari Inggris ke Tokyo menolak persepsi umum bahwa anak-anak HS kekurangan kecakapan sosial. Hal ini dibantahnya karena anak-anak sekolah rumah bersosialisasi dengan baik dari kelompok usia yang berbeda. Senada dengan Wet, Paula Rothermel dari Universitas Durham Inggris dalam Laporan Tahun 2002, menilai bahwa perkembangan psikolsosial dan akademik peserta HS usia 11 tahun (kurang dari 11 tahun) ditemukan sikap yang lebih matang secara sosial dan berprestasi akademik lebih baik daripada anak-anak yang didiidk di sekolah. Tak ketinggalan dari Indonesia yang telah membentuk ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Altenatif) yang dimotori oleh Kak Seto dan rekannya, berargumentasi bahwa anak-anak HS mendapat desain khusus untuk mempraktekkan bagaiamana cara-cara yang baik untuk bermasyarakat secara baik dan benar.
Membahas HS pada akhirnya akan membahas payung hukum. Sebenarnya HS sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau homeschooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan. Selain itu, di Indonesia pada Pasal 7 UU Sisdiknas mengenai Hak dan Kewajiban Orangtua. Ayat 1. Orangtua berhak berperanserta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anak. Ayat 2. Orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Mengkaitkan dengan Pasal 7 tersebut, dapat disimpulkan bahwa HS sebenarnya bagus kalau diposisikan sebagai wahana pembentuk karakter dan kepribadian anak dengan lingkungan dan keluarga yang dapat membentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Metode pembelajaran individual menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka. Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel, juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat.
Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan homeschooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih homeschooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia. Selain itu, anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya. Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibandingkan mengikuti pendidikan formil disekolah umum.
Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan homeschooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Menurut Huzaifah Hamid, seorang mahasiswa di Universitas Muhamadiyah Malang dalam artikel Pendidikan Network megatakan bahwa realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Sekarang persoalannya adalah tinggal sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan HS ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena biaya program pendidikan ini tidak sedikit atau hanya sekedar trend saja. Jika HS harus dipilih, itu karena masyarakat telah memahami bagaimana pendidikan di era globalisasi yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan yang berkaitan dengan skill dan kompetensi.
Terlepas dari pro dan kontra di atas, memang setiap pendidikan yang ada dan diterapkan di Indonesia apapun bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik berjalan dengan baik. Jelas seperti HS dan sekolah formal yang memfokuskan pengajaran dari berbagai aspek. Hal tersebut bukan mengadu domba antara HS dan sekolah formal. Bukankah tujuan pendidikdan membentuk insan yang bertakwa serta berakhlak baik dan berguna bagi sesama, bangsa dan agama? Pemerintah pun tetap nomor satu sebagai penyelengara pendidikan dan orang tua tidak meninggalkan kewajibannya sebagai sekolah pertama bagi anaknya.

Ungkapan Penulis:

Ini adalah tugas artikel koran, lagi-lagi lupa tahun berapa saya buat, kurang lebih tahun 2008--2009. U know what? Tulisan ini mendapatkan nilai excellent . yihaaaaaa.....................

0 komentar:

 

Twitter Update